Gadis kecil berusia empat tahun itu sedang asyik mencoret-coret tanah di
pekarangan rumahnya, sementara pembantu yang menjaganya menjemur
pakaian. Beberapa waktu kemudian, Ita si gadis kecil menemukan paku
berkarat dan memakainya untuk menggambar. Kemudian Ita berjalan ke
garasi dan mulai menggoreskan paku itu di sedan hitam yang baru dibeli
papanya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan sedan itu.
Sore harinya, ketika papa dan mamanya pulang, dengan bangga Ita menarik
tangan papanya untuk memperlihatkan hasil karyanya sendiri di garasi.
Pemandangan di garasi itu dengan cepat memompa emosi papanya dan karena
lepas kendali, papanya memukul tangan Ita dengan mistar. "Ampun Pa ...
Ampun Pa..., itulah jeritan yang keluar dari mulut Ita tapi jeritan ini
tidak dihiraukan oleh papanya. Setelah merasa puas, papanya berhenti dan
menyuruh pembantu utnuk mengurusi Ita yang baru saja didisiplinkan
tanpa pembelaan sang mama.
Tangis yang panjang melelahkan Ita dan ia pun tertidur. Ketika pembantu
memandikannya, dari awal sampai selesai mandi Ita menangis karena rasa
perih di kedua tangannya. Ketika si pembantu memberitahu majikan, mereka
hanya menyuruh untuk mengoleskan salep.
Keesokkan harinya mereka bekerja seperti biasa, sementara tangan Ita
mulai membengkak. Saat si pembantu menelepon nyonyanya, ia kembali
diperintahkan untuk mengoleskan salep dan memberi obat demam. Hari
berganti dan suhu badan Ita mulai naik, namun kedua orang tuanya tidak
serius mengobati tangan Ita sampai suatu hari suhu tubuh Ita sangat
tinggi.
Dengan panik mereka pun membawa Ita ke rumah sakit. Diagnosa dokter, Ita
demam diakibatkan oleh luka-luka di tangannya. Setelah di opname selama
satu minggu, akhirnya dengan berat hati dokter memberitahukan kondisi
Ita. "Tangannya yang bernanah telah membusuk. Untuk menyelamatkan Ita
maka kamia harus mengamputasi tangnnya."
dengan derai air mata dan penyesalan yang tak ada habisnya, papa dan
mama Ita menandatangani surat persetujuan. Singkat cerita, Ita dioperasi
dan setelah ia siuman dengan menahan rasa sakit di tangannya ia
berkata, "Pa, Ita nggak akan nakal lagi. Ita sayang sama Papa, sama
Mama, tapi Pa, tolong kembalikan tangan Ita. Kalau nggan pinjam aja Pa,
Ita janji nggak akan mengulanginya, Ita nggak akan nakal lagi. Ayo Pa,
kembalikan tangan Ita ....
Semua orang yang ada di ruangan itu membisu, hanya isak tangis dan derai
air mata yang berbicara mewakili kesedihan dan penyesalan mereka.
Efek yang ditimbulkan oleh amarah dan kehilangan kendali adalah rasa
sakit dan rasa bersalah. Dalam sebuah keluarga, kesalahan seorang anak
berpotensi meningkatkan emosi orang tua, namun seharusnya orang tua
mempersiapkan diri dengan penguasaan diri yang tinggi sehingga dapat
mendidik anaknya tanpa meninggalkan luka-luka batin pada anaknya.
"Panas hati hanya akan menyeret kita jatuh kedalam perbuatan jahat dan penyesalan
No comments:
Post a Comment